Minggu, 05 Mei 2013

Dilema BBM; Antara Fiskal & Inflasi


oleh: Teguh Estro*

     BBM subsidi terus terwacanakan akan naik harga. Secara halus pemerintah mengatakan dengan bahasa ‘penyesuaian harga’ ataupun adjusment. Pasalnya kuota pemakaian yang terus melampaui kuota membuat APBN terus terbebani. Di sisi lain harga minyak dunia selalu fluktuatif karena krisis timur tengah yang belum kunjung reda. Hal ini membuat kondisi fiskal semakin tersudut menanggung beban subsidi.

    Apabila lifting minyak berkisar 982 ribu barel/hari dengan asumsi harga minyak dunia US$
106,34 per barel dan nilai tukar rupiah Rp.9500 per dollar AS. Maka, harga rata-rata minyak bisa mencapai kisaran Rp.9000 per liter. Dan artinya pemerintah menalangi sekitar Rp.4500 per-liternya. Apabila trend ini terus berlangsung maka akan terjadi pembengkakan defisit APBN. Subsidi APBN 2013 sangat fantastis yakni Rp 312,74 Triliun. Naik 29,4 % dari APBN-P 2012 Rp 245,1 Triliun. Dan inipun masih ada perkiraan menambah lagi sekitar 30 Triliun. Pasalnya ada lonjakan konsumsi BBM bersubsidi. Apabila tahun lalu pemakaian kuota berkisar 45 Kiloliter, maka tahun ini pemerintah memperkirakan aka nada tambahan 6 kiloliter lagi. Tentu saja semua pihak tidak menginginkan adanya jebol anggaran yang jor-joran. Entah kenapa kedisiplinan fiskal seolah menjadi hal yang sulit di negeri ini.
 
    Prof. Dr. Anwar Nasution pernah memberikan kata pengantar dalam buku yang ditulis oleh Dr. A.A Baramuli. SH. Judulnya Pemikiran tentang Pembangunan Ekonomi dan Politik Masa Orde Baru. Prof Anwar menyatakan sebagai berikut:

    
“ Salah satu senjata ampuh Pemerintah Orde Baru untuk dapat keluar kemelut ekonomi orde lama adalah dengan menegakkan disiplin fiskal. Tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah Orde baru adalah untuk mengkonsolidasikan dan mengkoordinir anggaran pendapatan dan belanja berbagai departemen dan instansi pemerintah serta unit-unitnya yang diwarisi dari pemerintah sebelumnya…. Penegakkan disipin fiskal juga dilakukan secara vertical. Semua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) wajib melaporkan kegiatan dan anggarannya pada departemen keuangan yang bertindak sebagai wakil pemegang saham….”

   Sepertinya sejak Kementrian ekonomi ditangani oleh Sri Mulyani, seolah-olah kebijakan ekonomi sangat mendewa-dewakan kebijakan fiskal. Padahal jelas harus ada koordinasi moneter dan khususnya lagi koordinasi pada ekonomi riil. Persoalan BBM tidak bisa diatasi dengan perhitungan matematis belaka. Karena kejadian di lapangan  begitu banyak kendala yang kadang berada jauh diluar perkiraan APBN. Semisal jumlah kuota yang bisa saja bertambah sekian kiloliter lagi karena persoalan konektivitas daerah yang terhambat. Atau ada mafia minyak yang menimbun di kios-kios. Belum lagi ada lonjakan jumlah kendaraan bermotor baik roda dua ataupun roda empat yang berimbas pada pembengkakan penggunaan BBM Subsidi. pun dampak ekonomi global akibat isue perang Korea.

    Sebuah pertanyaan, apakah jebolnya ketahanan fiskal hanya persoalan subsidi BBM saja? Bisa iya, bisa tidak. Kondisi semacam ini memang karena sejak lama ada ketidakberesan manajemen fiskal negara ini. Begitu banyak pemborosan-pemborosan anggaran keuangan. Semisal pembangunan gedung DPR, biaya perjalanan dinas dengan personil yang berlebihan, biaya rapat-rapat yang sangat mahal dlsb.

   Apabila good & clean government menjadi usual di republik ini, maka biaya birokrasi juga bisa dipotong. Tentu saja harus ada kesiapan mental bagi para PNS karena lahan tambahan pendapatan mereka akan dipotong juga. Bila ditilik secara general ternyata persoalannya bukan karena dana subsidi BBM semata. Sehingga disayangkan bila akhir-akhir ini saat kondisi mepet barulah mengarahkan pada opsi-opsi yang ‘mengkambing-hitamkan’ BBM. 

    Terlebih lagi saat ini bangsa kita begitu mengandalkan minyak mentah impor yang tentu saja akan mengikut pada harga minyak dunia. Begitupun bila menilik pengelolaan sumur minyak di dalam negeri bahkan banyak dikelola oleh perusahaan asing jua. Pada era Abdurrahman Wahid saja ada 92% dari pengelola di dalam negeri adalah pihak asing. Memang beberapa perusahaan memberikan kontrak persenan sebanyak 85% untuk Indonesia dan 15 % untuk perusahaan asing. Akan tetapi di luar itu pemerintah juga harus membayar lagi dana recovery kepada perusahaan yang tak kalah mahal tergantung tingkat kesulitan eksplorasi dan ekspoitasi lahan. Tentu saja akan berbeda cerita bilamana sumur-sumur minyak di Indonesia bisa berdaulat. Sebagaimana bung Karno dahulu pernah bilang, “…Kita Simpan di tanah sendiri sampai para insinyur kita mampu menggarap sendiri…”

 
(Bila) BBM Naik, Inflasi Naik
    Indonesia adalah salah satu negara dengan harga energi termurah di dunia setelah Arab Saudi dan Venezuela. Tentu saja wajar kedua negara tersebut menjual harga energi secara terjangkau karena sebagai negara penghasil minyak. Sehingga mereka tidak membayar biaya impor, biaya transportasi bahkan biaya lifting. Karena di Indonesia masih terbatas perusahaan pengilangan yang mampu mengolah minyak mentah menjadi minyak siap pakai.

    Pada saat ini pemerintah mengalami dilemma yang sama-sama sulit. Apabila subsidi BBM dilanjutkan maka akan terjadi jebolnya anggaran. Di sisi lain, bila opsi menaikkan harga maka sudah bisa dipastikan akan terjadi kenaikan inflasi, bahkan bisa tembus hingga 7%. Hal ini belum lagi dikhawatirkan adanya inflasi ganda dikarenakan sebelumnya sudah terjadi inflasi dengan naiknya bahan pangan pokok seperti cabai dan bawang. Pro dan kontra terus terjadi ada yang sepakat ada yang menolaknya.

Seorang dosen Universitas Brawijaya Malang, Fadillah Putra mengatakan dalam bukunya Kebijakan Tidak untuk Publik ! ;

“Bila subsidi BBM terus diberlakukan maka Indonesia akan terancam krisis energi. Mismanajemen subsidi energy yang dilakukan pemerintah saat ini menghadapkan Indonesia pada ancaman krisis energy dalam waktu yang tak lama lagi. Pemerintah hanya mensubsidi BBM, akibatnya sumber energy di luar BBM tidak berkembang karena kalah secara harga…”
 
    Ada suatu wacana berbeda terkait alasan mengurangi subsidi BBM. Suatu kekhawatiran adanya krisis energi yang melanda dikarena kian minimnya cadangan energy minyak. Apabila dalam waktu singkat hendak mengalihkan dari BBM ke BBG (bahan bakar gas) akankah efektif? Mengingat Bahan bakar gas yang kalah bersaing harga dengan BBM. Begitupun secara penggunaan BBG masih kurang praktis. Padahal pengguna energi terbesar adalah kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Maka perlu diserius-kan rekayasa teknologi yang mengkonversikan gas menjadi praktis digunakan oleh kendaraan bermotor. Mengutip ucapan Fatih Birol, kepala ekonom International energy Agency, “ kita harus meninggalkan minyak sebelum minyak meninggalkan kita…”

    Dalam sebuah buku Nation in Trap, Ir Effendi Sirajuddin menuliskan mengenai kelangkaan minyak akhir-akhir ini :

    “ Minyak impor tidak tersedia dalam kurun 5 -10 tahun ke depan karena yang diperdagangkan  saat ini berkisar 40 juta barrel per hari dari 90 juta barrel perhari produksi dunia. sepuluh tahun ke depan konsumsi meningkat 20% atau 18 juta barel, produksi juga menurun  20% sehingga kekurangan pasokan dunia sekitar 36 juta barrel. Jadi dapat dikatakan sepuluh tahun ke depan minyak tidak tersedia lagi, namun gejalanya sudah terasa sekarang…”

    Melihat fenomena ini kalaupun harga BBM subsidi dinaikkan, maka salah satu pertimbangan yang terbesar adalah bukan karena kebutuhan keseimbangan neraca APBN an sich melainkan ada keterdesakan energi yang harus dikejar. Yakni kelangkaan minyak yang sudah di depan mata. Apabila rakyat Indonesia terus menerus disuguhi habit  pemborosan minyak maka peluang adanya energi alternatif kian buntu. Karena tentu saja rakyat akan memilih energi yang paling murah, dan BBG ke laut aje.
    Berikutnya inflasi. Tentu saja akan ada spekulasi apabila suatu kebijakan sudah dipastikan dihantui kemungkinan inflasi. Apabila BBM naik maka yang pasti Harga transportasi naik, Sembako melangit dan Listrik ikut merangkak tinggi. Akhirnya inflasi akan naik dan lagi-lagi dibutuhkan stimulus fiskal sebagai solusi jangka pendek. Ini baru pertimbangan level pertama. Berikutnya akan ada kelesuan ekonomi karena konektivitas perdagangan terhambat. Pegiat industri akan mengeluh karena adanya biaya produksi tambahan lantaran BBM naik.  Selanjutnya akan bermunculan demonstrasi dari berbagai pihak, bahkan boleh jadi terjadi PHK di berbagai perusahaan demi efisiensi produksi. Sehingga iklim investasi akan semakin lesu terutama di luar Jawa. Mutlak pemerintah akan bergantung pada program MP3EI (Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) saja dalam pembangunan ekonomi.

    Kesemuanya itu adalah kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dihadapi bilamana BBM benar-benar naik. Maka sedari sekarang biaya subsidi BBM yang mencapai 317,2 Triliun itu sebagian dialihkan untuk biaya kompensasi secara jujur sampai ke bawah. Sampai sekarang tingkat trust rakyat kepada pemerintah sangat kecil jika berhubungan dengan penyaluran dana rakyat. sangat bahaya jika biaya kompensasi ini sampai dikerjakan dengan paradigma proyek. kompensasi tersebut antara lain, kompensasi biaya transportasi agar semua armada tidak menaikkan tariff dan wajib diawasi. Kompensasi sembako bagi warga miskin selama satu tahun sampai inflasi pulih. Kompensasi listrik agar PLN bisa sehat dan tidak menaikkan TDL. Kompensasi pendidikan di daerah-daerah. Kompensasi infrastruktur dalam upaya menemukan memapankan energi gas dan energi alternatif lainnya. Akan tetapi yang dipertanyakan akankah pemerintah bisa menyalurkan secara bersih dan efektif dana kompensasi tersebut?

Ataukah Kepentingan Politik?
    Sudah jamak dimaklumi bahwa issue BBM sudah lekat sebagai komoditas politik. Rumusnya sederhana, bila kepentingan sudah didahulukan maka segala kemungkinan bisa dipertaruhkan. Termasuk salah satunya terkait kebijakan kenaikan harga minyak. Suasana politik yang memanas menjelang PEMILU 2014 membuat langkah menaikkan harga berisiko buat partai pemerintah.

    Partai Demokrat sudah jungkir balik mengalami prahara internalnya. Apabila kebijakan yang kurang populis ini diambil maka citra partai SBY kian merosot. Sepertinya presiden sengaja melempar issue  untuk mengukur partai mana saja yang sekiranya mendukung kebijakan kenaikan BBM dan parpol mana yang menolaknya. Apabila partai-partai besar dan mayoritas mendukung kenaikan BBM maka bisa dipastikan tahun ini akan segera diputuskan. Dan di tahu 2014 adalah masa yang sempurna bagi pemerintah untuk meraup citra atas nama pembagian dana kompensasi BBM kepada rakyat dengan anggaran APBN. Entah bernama BLT kah atau BLSM kah?

    Apabila di tahun ini tak kunjung naik, maka menaikkan harga di tahun 2014 akan sangat beresiko. Karena jeda waktu dengan PEMILU begitu singkat. Begitu juga di tahun 2015, pilihan menaikkan BBM akan menjadi pilihan yang sulit bagi presiden yang baru. Karena ia akan dicibir rakyat, karena baru menjabat sudah menyengsarakan dengan kenaikan BBM. Maka apabila pertimbangannya menggunakan nalar politik maka di tahun 2016 kemungkinan besar baru ada kenaikkan harga.

0 komentar:

Posting Komentar