Minggu, 05 Mei 2013

Menakar Peluang Sambut MEA



Oleh: Teguh Estro*

            Segenap segmen masyarakat memiliki ragam respon terhadap pencanangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 kelak. Sebagian optimis melirik terbukanya pasar baru bagi ragam komoditas industri domestik. Sebagian lagi keluhkan kurangnya daya saing Indonesia terhadap produk negara-negara jiran. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, waktu terus berjalan menyongsong MEA yang telah dicetuskan sejak 2003 silam.

            Secara peringkat ekspor-impor kawasan, Indonesia masih tertinggal dengan Singapura dan Malaysia. Singapura berada pada level 31,8%, Malaysia 29% dan Indonesia di peringkat tiga sejumlah 26%. Kondisi ini akan menjadi pesakitan bagi Indonesia bilamana tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap produk negara-negara ASEAN. Pasalnya, sampai sejauh ini ‘jualan’ yang ditawarkan masing-masing pihak masih memiliki kesamaan produk. Inilah yang mengkhawatirkan akan munculnya kompetisi dagang tanpa adanya resiprositas.

            Indonesia memiliki pengalaman buruk di era Soekarno dalam hal kerjasama kawasan. Dengan merapatnya bung Karno pada poros Beijing membuat kita terkucil dari pergaulan kawasan. Di sisi lain kedekatan dengan negara-negara sosialis tak lebih dari jargon-jargon semata. Bahkan anggaran negara terkuras sebab kebijakan militer konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura. Oleh karenanya salah satu pertimbangan untuk menyukseskan MEA adalah membangun keharmonisan kawasan. Mengingat banyak kawasan lain yang harus membayar terlalu mahal harga sebuah kondusifitas. Sebut saja Uni Eropa yang sempat mengalami resesi yang berawal dari utang macet di Yunani. Dan parahnya merambat krisis ke negara lainnya. Begitupun kondusifitas di timur tengah yang harus dibayar dengan ongkos minyak dunia kian melonjak. Belajar dari sana, Indonesia yang masih tertatih membangun ekonomi dalam negeri, membutuhkan kondusifitas kawasan. Mengingat konflik antar negara juga kerap menjadi sandungan ekonomi ASEAN.

Singapura dan Malaysia Pesaingkah?
            Daya saing Indonesia, menurut indeks daya saing global pada tahun 2010 pada urutan 75. Jauh berada diatas yakni Singapura berada pada urutan ke-2 di dunia, Malaysia 29, Filiphina 44 dan Vietnam 53. Sehingga kekhawatiran terhadap defisit perdagangan dirasa cukup beralasan. Karena boleh jadi ketika terjadi ‘liberalisasi’ perdagangan justru produsen besar saja lah yang mampu mendominasi. Industri-industri lokal akan bersaing lahan pasar dengan industri luar yang sudah mapan. Hal ini seharusnya dihitung secara matang oleh pengambil kebijakan. Sebagai mana yang diungkapkan oleh Martin Khor dalam bukunya Memperdagangkan Kedaulatan: Free Trade Agreement dan Nasib Bangsa:
            “…Alasan utama adalah liberalisasi yang sedemikian cepat menimbulkan lonjakan impor di banyak negara berkembang, dengan dampak negatif pada sektor industry dan pertanian lokal, serta neraca pembayaran dan situasi hutang…”

            Persiapan menjelang MEA tahun 2015 bukan sekedar mempush kuantitas produksi saja. Akan tetapi kreatifitas produk yang berbeda dari negara lain. Karena bila komoditas primer kita masih tetap sama dengan negara lain pengalaman-pengalaman sebelumnya akan kalah bersaing. Dan akhirnya neraca perdagangan kembali defisit, karena justru Indonesia lebih banyak mengimpor. lihat saja neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN yang didominasi defisit anggaran. Perdagangan Indonesia dengan Brunai defisit 281,7 juta dollar AS. Terhadap Malaysia defisit 511,3 juta dollar AS, terhadap Singapura defisit 707,9 juta dollar AS, terhadap Thailand defisit 721,4 juta dollar AS bahkan terhadap Vietnam defisit 157,5 dollar AS. Hal ini tidak akan terjadi apabila dari sekarang Indonesia mampu mengcreate produk yang memiliki nilai komparatif. Dalam artian berbeda dengan komoditas primer dari negara lain. Dan tentu saja harapannya bukan dari sektor migas.

            Dalam buku Reformasi Indonesia karya Widoyo Alfandi mengungkapkan mengenai Singapura di ASEAN;
            “Negara yang paling menikmati organisasi ASEAN di bidang perdagangan adalah Singapura. Di bidang kesejahteraan sosial ekonomi urutan teratas diduduki oleh Singapura, walaupun negara kecil dan tidak memiliki sumber daya alam, tetapi rakyatnya relatif kesejahteraannya lebih terjamin….”

            Singapura memanfaatkan arus transportasi perdagangan ASEAN melalui selat malaka. Dan jasa sebagai negara transit benar-benar keunggulan usaha jasa kelas internasional yang tidak dimiliki negara lain. Inilah yang membuat Singapura benar-benar hidup sebagai kota transit perdagangan. Akan tetapi lain lagi ceritanya apabila di kawasan timur Indonesia memiliki pelabuhan transit yang memotong rute dagang Cina, Jepang, Filiphina menuju Australia. Sehingga akhirnya tidak perlu melalui Singapura lagi. Tentu saja bukan sekedar infrastruktur yang berkelas internasional. Akan tetapi dibutuhkan pula masyarakat yang memiliki habit professional dalam pelayanan.

            Filiphina dulu sempat menjadi pionir beras di ASEAN bahkan Indonesia kerap menjadi langganan importir. Namun akhir-akhir ini antara Indonesia, Vietnam, Thailand dan Filiphina sudah bisa bersaing, karena sama-sama kuat secara ketahanan pangan. Satu hal yang harus diingat, secara produktifitas mungkin Indonesia tengah naik-naiknya saat ini. Namun tetap saja hal tersebut cukup minim bila dibandingkan jumlah ratusan juta perut yang harus jadi pembaginya.

0 komentar:

Posting Komentar