Kamis, 02 Mei 2013

Reformasi dan Sisi Yang Terlupa

Reformasi dan Sisi yang Terlupa
Oleh: Teguh Estro*
image: http://foto.detik.com
    32 tahun rezim orde baru mewariskan luka panjang bagi bangsa ini. Bukan saja kerugian sebab korupsi besar-besaran, tetapi mental bangsa Indonesia turut jatuh di berbagai bidang. Sehingga krisis multidimensi menjadi hambatan terjal era trnasisi bangsa ini. Krisis moneter berdampak pada kehancuran ekonomi telah mengawali catatan di era reformasi. Nilai tukar rupiah terus melemah, harga SEMBAKO melilit rakyat bawah hingga ketakutan masyarakat akan kenaikan harga BBM. Begitupun ledakan-ledakan separatism di tiap daerah cukup mengkhawatirkan pengelolaan HANKAM di republik ini. Sebut saja Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Repubik Maluku Selatan (RMS). Tentu saja yang telah memisahkan diri provinsi Timor Leste yang menjadi pukulan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Hal yang jarang tersadari adalah mustahilnya ‘menyembuhkan’ krisis multidimensi ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Musababnya yakni begitu banyak dan kompleksnya musykilat yang dihadapi. Akan tetapi mental manusia yang memikul beban reformasi ini tengah rapuh di berbagai lapisan. Sangatlah tidak fair bila kita membandingkan kebangkitan Jepang dengan reformasi di Indonesia. Negeri ‘matahai terbit’ tersebut pernah mengalami kehancuran hebat dengan ledakan bom di Hiroshima dan Nagasaki (dua daerah lumbung pangan mereka). Jepang menyerah tanpa syarat dan bertekad membenahi bangsanya dengan cepat. Banyak pertanyaan kenapa Jepang begitu cepat mereform negerinya. Sedangkan Indonesia terus berpredikat sebagai negara berkembang sampai sekarang. Perlu ada pendekatan yang fair  terhadap kondisi bangsa Jepang sebelum ledakan tersebut. Mereka sebelumnya adalah imperialis di Asia. Tentu saja mental sebagai bangsa besar dan berpendidikan menjadi modal bagi mereka. Apalagi scope wilayah yang tidak seluas Indonesia serta persoalan internal yang tentu tidak serumit Indonesia pula. Sebaliknya kita tengok kondisi real Indonesia saat terjadi keterpurukan. Mental serta kultur yang rendah menghadapi persoalan njelimet dari Sabang sampai Merauke.

    Pendekatan dalam membaca reformasi haruslah sampai finish. Indonesia tengah menghadapi tekanan baik dari dalam maupun desakan kepentingan dari bangsa luar. Yang paling jelas adalah negara-negara pasifik barat yang begitu terasa kepentingan mereka kepada Indonesia. Sebut saja sang ‘polisi dunia’ Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Australia, Rusia, China, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan dan negara-negara ASEAN. Mereka semua jelas melihat bumi nusantara sebagai ‘sasaran empuk’ terhadap kepentinganya.
image: http://infopublik.kominfo.go.id

    Semisal Amerika Serikat yang memiliki sejuta kepentingan di Indonesia. Bukan saat ini saja, sejak masa Soekarno negeri Paman Sam itu telah mencengkeramkan pengaruhnya. Dalam hal kepentingan Ideologi, Amerika begitu aktif mendekati negara-negara yang tengah terjangkiti pengaruh komunis. Bahkan Partai Masyumi pernah mendapat bantuan dari Amerika US$ 1 Juta dalam rangka pemberantasan komunisme di Indonesia (pada masa presiden Eisenhower). Begitu juga dalam hal kepentingan HANKAM. Amerika begitu mengawasi perkembangan Nuklir di Korea. Bahkan dengan meningkatnya perhatian pemerintah China terhadap belanja militer membuat Amerika betul-betul membutuhkan Indonesia menjadi partner di kawasan Asia Pasifik. Bukankah berlepasnya negeri Lorosae (Timor Leste) sebagai salah satu hasrat Amerika hendak mendirikan pangkalan Militer di kawasan Asia Pasifik melalui tangan Australia.

    Pasca tragedi WTC 11 september 2011, kebijakan luar negeri Amerika Serikat drastis berubah. Mereka dengan 'tergopoh-gopoh' mencari kambing hitam yang kemudian teralamatkan kepada Osama bin Laden. Akan tetapi belakangan, negara super power tersebut kerap meng-general-isir terorisme yang distereotipkan pada Islam. Dan itu telah menjadi perspektif umum negara-negara barat. Sehingga dengan ‘rajin’nya jaringan teroris bergiat di Indonesia membuat Amerika kudu mengambil peran ‘lagi’.

    Selain Amerika, negara lain yang kerap banyak campur tangan dalam banyak urusan di Indnesia adalah Jepang. Pada tahun 1995, negeri para samurai ini menguasai 90% pasar otomotif di Indonesia (saya harus bilang “wow”) walaupun saat ini telah memiliki saingan baik dari korea, China, India maupun Eropa. Akan tetapi catatan besarnya penduduk Indonesia cukup menggiurkan bagi pengusaha otomotif mereka. Sehingga bergabung Jepang dalam organisasi APEC sejatinya tidak lain sebagai pencaharian bahan mentah dari Indonesia sekaligus pemasaran industri otomotif mereka.

    Pada masa reformasi ini, Indonesia dihadapkan pada dua persoalan sulit. Yakni kemelut di dalam negeri dan desakan kepentingan negara luar. Sehingga dibutuhkan beberapa ‘senjata’ untuk mengatasinya. Pertama, kapasitas mengelola perekonomian (terutama ekonomi mikro), kedua, mengakarnya jiwa persatuan dan ketiga, kemampuan pergaulan Internasional. Dan perwujudan ketiga hal tersebut secara mengakar diwujudkan dengan pendidikan. Sehingga bisa dimiliki oleh semua (tanpa terkecuali) oleh rakyat Indonesia khususnya di daerah.

Mengawali dari Pembenahan Pendidikan
    Bangsa besar adalah bangsa pembelajar. Kaisar Hirohito menjadikan para guru sebagai tiang pancang kebangkitan bangsa Jepang. Hal serupa yang dilakukan oleh Turki yang begitu prioritas dalam hal pendidikan. Di negeri separuh Eropa-separuh Asia tersebut orang-orang kaya wajib menyisihkan dana untuk pendidikan. Hanya saja ketika pembenahan pendidikan di Indonesia memang harus benar-benar lebih serius tinimbang negara-negara lainnya.

    Pertama, dalam menyukseskan reformasi harus meakukan diagnosa permasalahan secara detail dan kompleks. Dan salah satu inti dari keruwetan benang kusut ini adalah pendidikan. Bukan sekedar mendidik dalam lembaga formal, akan tetapi mendidik juga mengajarkan nilai moral kepada masyarakat.
    Kedua, masyarakat yang masih terbelakang di Indonesia begitu banyak jumlahnya. Sehingga peningkatan kualitas SDM bukanlah hal mudah yang bisa tuntas dalam hitungan 1 – 2 tahun. Tentu saja membutuhkan rencana bertahap dengan anggaran yang besar. Akan tetapi yang menjadi titik tekan adalah perasaan ‘sadar’ bahwa mendidik manusia Indonesia adalah hal yang terpenting dan segala-galanya. Apresiasi terhadap guru semsetinya menjadi tradisi bagi bangsa yang bercita-cita bangkit dari keterpurukan.


*penulis adalah Pegiat LPM Lensa Kalijaga
Bahan bacaan ;
1)    Reformasi Indonesia karya Widoyo Alfandi.
2)    Awakening the Giant (membangunkan negeri raksasa yang tertidur) karya Munawar Fuad.
3)    Transisi Menuju Indonesia Baru karya Sjahrir.
4)    NASIONAL.IS.ME karya Pandji Pragiwaksono

0 komentar:

Posting Komentar